Kamis, 15 Januari 2015

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI ( ANTARA ETNIS JAWA DAN CINA )

Pertentangan-Pertentangan Sosial dan Ketegangan Dalam Masyarakat

Konflik (pertentangan) mengandung suatu pengertian tingkah laku yang lebih luas dari pada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar atau perang. Dasar konflik berbeda-beda. Terdapat 3 elemen dasar yang merupakan cirri-ciri dari situasi konflik yaitu :

1.Terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau baigan-bagianyang terlibat di dalam konflik
2.Unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap, maupun gagasan-gagasan
3.Terdapatnya interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.

Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dengannya, misalnya kebencian atau permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling kecil yaitu individu, sampai kepada lingkungan yang luas yaitu masyarakat :

1. Pada taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk kepada adanya pertentangan, ketidakpastian, atau emosi-emosi dan dorongan yang antagonistic didalam diri seseorang
2.Pada taraf kelompok, konflik ditimbulkan dari konflik yang terjadi dalam diri individu, dari perbedaan-perbedaan pada para anggota kelompok dalam tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan norma-norma, motivasi-motivasi mereka untuk menjadi anggota kelompok, serta minat mereka.
3.Para taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan di antara nilai-nilai dan norma-norma kelompok dengan nilai-nilai an norma-norma kelompok yang bersangkutan berbeda.Perbedan-perbedaan dalam nilai, tujuan dan norma serta minat, disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman hidup dan sumber-sumber sosio-ekonomis didalam suatu kebudayaan tertentu dengan yang aa dalam kebudayaan-kebudayaan lain.
 

Mari kita lihat perilaku Diskriminasi Etnis Jawa Terhadap Cina
Untuk mengetahui diskriminasi etnis Jawa terhadap etnis Cina ini dapat dilihat dari 2 (dua) aspek yaitu : Diskriminasi langsung dan tidak langsung.
a). Diskriminasi langsung (Micro) Etnis Jawa Terhadap Cina
Kecenderungan terjadinya diskriminasi langsung (micro) orang Jawa terhadap orang Cina ini dapat terlihat dari jawaban beberapa pertanyaan berikut :
“Jika saya mempunyai hajat, saya akan mengundang tetangga, teman, atau kolega, walaupun mereka warga keturunan Cina”. Jawaban terhadap pernyataan ini adalah 35 % menyatakan setuju, 37 % ragu-ragu, dan 28 % diantaranya menyatakan tidak setuju. Artinya masih terdapat 28 % yang menyatakan tidak akan mengundang tetangga, teman, atau kolega, yang keturunan Cina.
Jawaban tersebut juga selaras terhadap pernyataan berikutnya “Saya tidak akan datang, jika diundang ke hajatan orang Cina”, terdapat 11 % yang menyatakan setuju, 36 % ragu-ragu, 53 % lainnya menyatakan tidak setuju. Artinya mayoritas orang Jawa masih tetap akan datang ke hajatan orang Cina, jika mereka diundang. Dari jawaban tersebut tampak, bahwa kecenderungan untuk berperilaku diskrimiatif secara langsung (micro) dari orang Jawa terhadap orang Cina sangatlah minim.
Hal ini juga terlihat dari perilaku sosial orang Jawa terhadap orang Cina, seperti yang terlihat dari pernyataan “Saya akan membantu, jika ada teman, tetangga atau kolega yang orang Cina sedang terkena musibah”. Terhadap pernyataan ini terdapat 91 % yang menyatakan setuju, 4 % ragu-ragu, dan hanya 5 % yang menyatakan tidak setuju. Demikian juga terhadap pernyataan “Saya tidak akan menjenguk jika ada teman, tetangga atau kolega yang orang Cina sedang menderita sakit”. Terhadap pernyataan ini mayoritas orang Jawa menyatakan tidak setuju, yakni 69 %. 16 % menyatakan ragu-ragu, dan 18 %-nya menyatakan setuju. Artinya mayoritas orang Jawa tetap akan menjenguk teman, tetangga atau koleganya yang warga keturunan Cina, ketika dia menderita sakit.
Demikian juga, tidak banyaknya kecenderungan orang Jawa untuk berperilaku diskriminasi terhadap orang Cina secara langsung (micro) tampak dari dari jawaban dari pernyataan berikut “Saya tidak akan membolehkan anak saya bergaul dengan anak orang Cina”, mayoritas orang Jawa menyatakan tidak setuju, yakni 61 %, dan 26 % ragu-ragu, hanya 13 % yang menyatakan setuju. Artinya mayoritas orang Jawa tetap membolehkan anaknya bergaul dengan anak orang Cina.
Namun demikian di bidang kesenian, masih nampak adanya kecenderungan untuk berperilaku diskriminasi dari orang Jawa terhadap orang Cina, yang hal ini terlihat dari pandangan bahwa “Barongsai adalah kesenian Tiongkok (Cina), dan orang Jawa seharusnya tidak ikut memainkannya”, terdapat 46 % yang menyatakan setuju, 27 % ragu-ragu, dan 27 % menyatakan tidak setuju. Walaupun realitas di lapangan banyak beberapa group kesenian barongsai, yang pemainnya beberapa diantaranya orang Jawa.
Dari beberapa data tersebut di atas menunjukkan bahwa kecenderungan perilaku diskriminasi secara langsung (micro) dari orang Jawa terhadap orang Cina masih minim (walaupun masih ada). Hal ini juga selaras dengan jawaban mengenai sikap orang Jawa terhadap etnis Cina, yang menunjukkan bahwa mayoritas orang Jawa tetap suka berteman, bertetangga dan berbisnis dengan orang Cina.
Namun demikian menurut Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) Jawa Tengah, di beberapa kasus memang masih sering terjadi diskriminasi secara langsung (micro) dari orang Jawa terhadap orang Cina. Sebagai contoh, terjadinya insiden kecelakaan yang dialami oleh orang Jawa dengan orang Cina. Belum tahu siapa yang salah, tetapi polisi sudah menganjurkan kepada orang Cina agar mengalah, karena orang Cina kan banyak duitnya. Perilaku seperti inilah yang juga tidak disukai oleh orang Cina terhadap orang Jawa.
Tidak hanya itu, orang Jawa yang muslimpun masih sering menunjukkan sikap dan perilaku yang diskriminatif terhadap Cina Muslim. Cina muslim seolah-olah disamakan dengan Cina yang bukan muslim. Hal ini dialami oleh Deni Cake (salah seorang Cina muslim di Semarang), walaupun dia muslim dari kecil, tetapi sikap dan perlakukan yang negatif masih diterimanya dari orang Jawa, seperti “Di Cinak-cinakke”, dikata-katain “Ono Cino Sunat”, “ono Cino mlebu masjid”, dan uangkapan-ungkapan lainnya.
 
dari kasus diatas baiknya kita menggunakan cara-cara berikut untuk pemecah konflik
1.Elimination; yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang telibat dalam konflik yagn diungkapkan dengan : kami mengalah, kami mendongkol, kami keluar, kami membentuk kelompok kami sendiri
2.Subjugation atau domination, artinya orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk mentaatinya
3.Mjority Rule artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting akan menentukan keputusan, tanpa mempertimbangkan argumentasi
4.Minority Consent; artinya kelompok mayoritas yang memenangkan, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta sepakan untuk melakukan kegiatan bersama
5.Compromise; artinya kedua atau semua sub kelompok yang telibat dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah
6.Integration; artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan dan ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua pihak.
 
 
Kiranya bermanfaat untuk kita semua 

Sumber : 
 

1 komentar:

  1. sebelum peristiwa 98 memang seperti itu, tapi setelah itu tidak ada

    BalasHapus